iNews Football – Kevin De Bruyne dikenal sebagai jenderal lapangan tengah yang brilian. Namun kali ini, ia menunjukkan sisi manusiawinya. Pada laga derby final yang dinanti jutaan pasang mata, De Bruyne mengaku tidak menikmati permainan. Bukan karena kekalahan atau tekanan media. Tapi karena suasana di lapangan yang terasa berbeda. Derby ini menyisakan rasa hampa bagi sang maestro Belgia.
Derby ini mempertemukan dua klub sekota dengan sejarah rivalitas panjang. Stadion penuh sesak dengan pendukung fanatik. Sorak-sorai menggema tanpa henti sejak peluit pertama dibunyikan. Tapi merasa suasana itu terlalu membebani. Ia tidak bisa bermain lepas. Ia bahkan kesulitan untuk fokus pada strategi pelatih. Tiap langkah terasa berat seolah sedang membawa beban satu kota di pundaknya.
“Baca Juga :Evandra Florasta Yakin RI Bisa Menang Semua Laga”
Beberapa hari sebelum pertandingan, De Bruyne sempat diragukan tampil. Cedera hamstring yang lama menghantuinya kambuh saat latihan. Meski tim medis menyatakan dia siap turun, nyatanya tubuhnya belum 100 persen pulih. Saat pertandingan berjalan, ia beberapa kali terlihat terpincang ringan. Tapi ia memilih tetap bermain. Keputusannya itu kini ia sesali. Ia mengaku tidak bisa tampil maksimal karena rasa sakit yang muncul di menit-menit awal.
De Bruyne bukan hanya mengalami hambatan fisik. Ia juga merasa kehilangan ritme permainan sejak babak pertama. Umpan-umpannya sering meleset dari target. Koordinasi dengan rekan setimnya terasa kaku. Beberapa kali ia mencoba menusuk pertahanan lawan, tapi selalu kandas. Setiap kegagalan membuat rasa percaya dirinya semakin menurun. Ia merasa seperti bukan dirinya sendiri di lapangan.
“Simak juga: Johan Ghazali Pede Hadapi Johan Estupinan di ONE 170”
Di ruang ganti, De Bruyne mengira ia akan mendapat teguran. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Rekan-rekannya menunjukkan empati yang besar. Beberapa menyemangatinya, sementara yang lain hanya menepuk pundaknya dengan diam. Pelatih pun tidak menyalahkannya. Semua memahami bahwa tekanan emosional bisa mempengaruhi performa siapa saja. Momen itu membuat De Bruyne tersentuh. Ia merasa dihargai sebagai manusia, bukan sekadar pemain.
Meski rekan-rekannya bersikap suportif, media tetap memberitakan penurunan performa De Bruyne. Tajuk-tajuk seperti “De Bruyne Tumbang di Derby” dan “Kinerja Mengecewakan Sang Maestro” menghiasi halaman utama. Ia membaca semuanya dengan tenang. Dalam wawancara usai laga, ia mengakui performanya buruk. Tapi ia juga meminta pengertian publik. Ia mengatakan bahwa bahkan pemain terbaik pun punya hari buruk. Itu bagian dari hidup sebagai atlet profesional.
Bagi banyak pemain, derby adalah sekadar pertandingan penting. Tapi bagi De Bruyne, derby kali ini punya makna lain. Ini adalah derby terakhirnya sebelum kemungkinan hengkang musim depan. Rumor transfer ke liga lain semakin kuat. Ia tahu, ini mungkin kesempatan terakhirnya mengenakan jersey biru langit dalam laga sekota. Kenangan itu justru membuatnya emosional. Ia ingin menutup kariernya dengan indah, tapi kenyataan tidak selalu ideal.
Usai laga, De Bruyne mengunggah pesan di media sosial. Ia mengucapkan terima kasih kepada semua fans yang terus mendukung. Ia menulis bahwa ia kecewa dengan performanya sendiri, tapi tidak menyesali perjuangannya. Dalam pesan itu, ia menyisipkan foto dirinya bersimpuh di tengah lapangan. Sebuah simbol kelelahan sekaligus dedikasi. Para suporter membalas dengan ribuan komentar penuh semangat. Mereka tahu, De Bruyne sudah memberi segalanya.
Setelah derby final itu, masa depan De Bruyne menjadi perbincangan hangat. Apakah ia akan bertahan atau mencoba tantangan baru di luar Inggris? Beberapa klub dari Arab Saudi, Amerika Serikat, dan Italia disebut-sebut tertarik merekrutnya. Tapi De Bruyne belum memberikan kepastian. Ia hanya berkata bahwa ia ingin waktu untuk berpikir. Ia ingin memastikan keputusan berikutnya didasari oleh keinginan, bukan tekanan.